RSS

Film "?" yang menyisakan Tanda Tanya bagiku




Saya menulis review ini setelah banyak membaca review – review lainnya di internet dan juga membaca komentar di twitterland dari timeline Hanung Bramantyo yang tak lain adalah sutradara dari film Tanda Tanya. Saya termasuk orang yang terlambat menonton film ini, sudah banyak kontroversi serta pro dan kontra yang sampai di telingaku saat saya memasuki studio untuk menyaksikannya. Yaahhh jadi mungkin saat menonton, pikiran saya tidak bersih lagi, sudah banyak pendapat - pendapat yang terlanjur tertanam di otakku, dan sepertinya pendapat negatiflah yang menang. Jadi jika menyukai film ini, jangan terlanjur jengkel ya baca tulisanku, banyak pendapat lebih baik kan? Bukankah pesan menghargai perbedaan adalah tema yang ingin diangkat oleh seorang Hanung di film ini?
Saya mulai saja, mengenai seorang Hanung bramantyo, saya sudah punya penilaian tersendiri tentang dia, saat menyaksikan Ayat – Ayat Cinta dengan harapan melihat setting seperti yang tergambar dalam novel, ternyata saat menontonnya ekspektasi saya tidak tercapai, saya kecewa dengan setting daerah sekitar flat Fahri yang terlihat seperti di studio, belum lagi figuran yang berkeliaran semuanya berwajah Indonesia. Hal itu terulang di film sang Pencerah, terlalu panjang jika saya jelaskan scene mana lagi.
Bagaimana dengan film Tanda Tanya? Menurutku hal itu terulang lagi dengan setting lorong pasar Baru yang dibuat Hanung, entah mengapa sepertinya dialog pemain hanya terjadi di tiga tempat, kalau bukan di depan Mesid, di depan Penjual perabot kayu, atau tepat di samping penjual kayu, yaitu di depan tukang cukur yang disertai figuran pengamen yang sangat tidak natural, terlihat seperti figuran yang memang diletakkan di sana untuk kepentingan film.  Dan sebenarnya saya ingin bertanya dengan Mas Hanung apakah daerah itu memang disetting seperti China Town atau bagian kota yang tua? Karena setting dan kostum - kostum pemain tidak menunjukkan tahun 2010 seperti yang dijelaskan di awal film , terlihat sangat jadul belum lagi di tambah dengan warna film yang kecoklat-coklatan dan banyak scene yang entah disengaja atau tidak terlihat sangat ‘under’.
Mengenai isi film yang dihadirkan oleh Hanung, menurutku adalah ide cemerlang mengangkat issue tentang perbedaan agama di tengah konflik yang masih terjadi di negeri kita, bahkan Mas Hanung menghadirkan secara nyata dengan cerita seperti seringnya dengan membawa nama agama Islam, sekelompok orang dengan seenak hati menghancurkan rumah orang beragama lain (terlihat di scene saat Reza Rahadian dan kawan- kawannya mengamuk di warung makan Chinesse Food) , atau lebih jelasnya diadegan saat ada bom di dalam gereja, Hanung sangat mencerminkan realitas Negara kita kan di film tersebut?.  Hanya saja entah mengapa saya merasa film ini agak sedikit maksa, menampilkan semua masalah tersebut dan dikemas dalam satu film dengan beberapa pemain.  Ok saya akan jelaskan maksud saya dengan ‘sedikit maksa’. Apakah kalian mengingat film Love Actually, atau film Indonesia yang berjudul Love? Dua film itu adalah jenis film dengan beberapa cerita di dalamnya dengan banyak pemain yang kesemuanya adalah pemain utama di cerita masing- masing. Film Tanda Tanya bukanlah jenis film seperti itu, film ini adalah satu film utuh dari awal hingga credit titlle muncul di layar, film ini menggunakan beberapa pemain yang menurutku tidak jelas tokoh sentralnya siapa, apakah Revalina yang bekerja di tempat mantan pacarnya yang adalah seorang TiongHoa? Atau apakah Endhita yang memilih pindah keyakinan atau tokoh lainnya seperti Reza Rahadian atau Agus Kuncoro?
Saya sangat senang dengan tema yang diangkat oleh Mas hanung, hanya saja jika ingin mengangkat tema pluralisme tidak semua aspek harus diletakkan dalam satu film utuh, mungkin hanya membutuhkan dua tokoh sentral yang mempunyai masalah yang mungkin sudah sangat menyentuh tema pluralisme, tapi who Knows? Mungkin mas Hanung punya alasan tersendiri, tapi menurutku sih agak maksa menyatukan semua masalah itu dalam satu film.
Film yang baik adalah film yang bisa memainkan perasaan penonton, Hanung berhasil. Di beberapa scene kita dibuat tertawa dengan beberapa adegan dari Agus Kuncoro, dan kita dibuat hampir menangis saat aktor senior Hengky soleman dipukul perutnya saat sakit, dan saya khususnya dibuat mellow lagi dengan kisah cinta terselubung Revalina dan Rio dewanto. Hanya saja sesuai dengan judulnya, film ini masih menyisakan tanda Tanya di kepala saya mengenai beberapa bagian dalam film ini, salah satunya saat Endhita mengatakan “aku pindah Agama bukan karena aku mengkhianati tuhanku” untuk yang satu itu saya juga masih mencari alasan mengapa Endhita melakukannya.
But So Far, Mas Hanung layak diacungi jempol dalam membuat film bertema seperti ini ditengah terpaan film Indonesia lainnya yang temanya yaaa kalian tahu apa kan?  Terus berkarya ya Mas Hanung, mungkin review saya kali ini sedikit lebih banyak kritikan, karena saat masuk bisokop mood lagi sangat anjlok di titik nadir terdalam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS