The Begining
Tiga minggu sebelum tanggal 20 September, itu gak tw juga tanggal berapa, malas hitung-hitung. Yang pastinya hari itu hari sabtu, kami anak-anak mandiri Cokro ada dalam mobilnya Hasni baru saja pulang dari pernikahannya fate dan si Pocky langsung nyeletuk.
Tiga minggu sebelum tanggal 20 September, itu gak tw juga tanggal berapa, malas hitung-hitung. Yang pastinya hari itu hari sabtu, kami anak-anak mandiri Cokro ada dalam mobilnya Hasni baru saja pulang dari pernikahannya fate dan si Pocky langsung nyeletuk.
“Din mwko ikut tanggal 20, mwki
pergi semua ke lembah Ramma?”
Asal tahu saja, aku ini baru saja mutasi ke Makassar, dan dalam rangka mengakrabkan diri dengan orang kantor yang ada disini, aku berusaha untuk mengikuti semua kegiatan dan yang pasti semua kegiatannya asyik sih. Dan beginilah lanjutan percakapanku sama pocky.
“ihh liburan....mw mw. Sapa-sapa yang ikut?"
“yang ikut toh ceweknya, saya,kw Hasni, Indah, Ayu, Pak Agus, Pak Seno, Pak Andre, Osa”
TENG TONG!!!!
Nama-nama yang pocky sebut di atas itu adalah nama para petinggi-petinggi kami di kantor, gini lho maksudku.. kapan lagi coba liburan di luar kantor bareng atasan, pasti suasananya beda. Dan ada satu nama yang disebutkan pocky adalah idola aku di Mandiri, idola semua cewek sih sebenarnya. Sudah seribu lebih cowok Mandiri aku liat belum ada ngalahin cakepnya si Cowok ini, dan Apa Pocky bilang barusan tadi?? Dia juga ikut.. yuhhhhhuuuu ini mungkin akan jadi perjalanan yang menyenangkan.
Nama-nama yang pocky sebut di atas itu adalah nama para petinggi-petinggi kami di kantor, gini lho maksudku.. kapan lagi coba liburan di luar kantor bareng atasan, pasti suasananya beda. Dan ada satu nama yang disebutkan pocky adalah idola aku di Mandiri, idola semua cewek sih sebenarnya. Sudah seribu lebih cowok Mandiri aku liat belum ada ngalahin cakepnya si Cowok ini, dan Apa Pocky bilang barusan tadi?? Dia juga ikut.. yuhhhhhuuuu ini mungkin akan jadi perjalanan yang menyenangkan.
Part I : Liburan yang bercabang dua
Nah seminggu sebelum tanggal 20 September, aku dan teman-teman di Mandiri Cokro bertemu lagi di acara Employee Gathering Mandiri, pulang dari sana aku menanyakan lagi kejelesan liburan ini sama Pocky dan dia masih bilang jadi kok... okeyy lah kalo gitu saya masih punya niat ikut, padahal di tanggal yang sama teman-teman kampus ngajakin ke Bara, pantai keren di Bulukumba yang juga belum pernah aku datangin.
Tapi tekadku sudah bulat memutuskan untuk pergi bareng teman kantor saja walaupun persiapannya lebih sulit dan memakan biaya daripada bawa diri ke Pantai doang dan tidak pake acara mendaki pula. First aku harus menyiapkan Tas ransel besar, sleeping bag, kaos tangan tebal, jaket tebal dan of course sepatu untuk mendaki. And for Your Info kesemuanya itu aku gak punya. Beberapa alat bisa aku pinjam di teman dan beberapa lagi harus segera dibeli walaupun harganya yah gitu deh.... tapi mengeluarkan uang banyak gak masalah demi safetyku yang notabene baru saja pergi acara kayak ginian.
blom tau medan, muka masih ceria |
Part II : And Here We Go
Salah satu hari Sabtu yang paling
berharga dihidupku, aku sudah menyiapkan segalanya semalam, namun ternyata satu
yang aku tidak siapkan. Yap ketahanan fisik. Harusnya minimal dua minggu
sebelum berangkat, sering olahraga sepeti jogging dan juga naik turun tangga
pun berguna, tapi masalah fisik aku cerita belakangan deh.
Cewek yang ikut jadinya Cuma aku
dan Pocky, tapi itu tidak masalah selama cowok kece bernama Osa ikut. Hahaha
kebetulan kami berdua adalah fans beratnya. Kami berkumpul di rumah pak Agus,
saat aku dan Pocky tiba disana si Osa lagi berdiri semacam pemanasan ringan
cocok banget jadi pembacawa acara semacam My trip My adventure... aduh ini kaki
langsung runtuh kayak Marshmallow.. but FYI ngefans seru-seruan gitu doang kok,
gak ada maksud apa-apa yahh si Doski juga udah mau nikah.
Kami berangkat menuju Malino jam
9 Pagi, di mobil kami bercerita jadi akrab, termasuk dengan pak Agus si Bos
yang terkenal paling pedis kata-katanya kalo di kantor, aku gak nyangka
ternyata pak Agus orangnya konyol banget. Sesampai di Malino udara sudah mulai
dingin, dan menurut Pak Agus dan Osa di Lembah Ramma mungkin 3 – 4x lebih
dingin. Kami membeli nasi bungkus di pasar Malino dan beberapa bahan makanan
untuk diolah nantinya.
Sampailah kami di Dusun Lembanna,
gerbang orang menuju pendakian Bawakaraeng, di desa ini banyak berjejeran
rumah-rumah dan di halaman banyak mobil dan motor-motor parkir yang ternyata
itu adalah kendaraan titipan para pendaki seperti kami.
Kami singgah di salah satu rumah
yang ternyata tuan rumahnya sudah kenal baik sama Pak Agus dan Osa, dan baru
tahu juga kalo Pak Agus dan Osa sudah menaklukkan gunung Bawakaraeng
sebelumnya.. Osa juga sudah pernah sampai di puncak Bulusaraung dan tidak ketinggalan
juga sudah pernah memegang bendera merah putih di puncak Mahameru. TUING TUING
mataku dan Pocky semacam muncul bintang-bintang, makin keren aja nih cowok.
baru saja keluar dari Desa Lembanna |
Tugu di Pos1 |
BISMILLAH, kami melingkar dan
Berdoa demi keselamatan kami bersama sampai di Lembah Ramma, kami mulai
pendakian sekitar jam 12 siang, setelah singgah di rumah warga dan juga
mengatur kembali isi ransel masing-masing, bawa yang perlu dan tinggalkan yang
bikin sulit perjalanan. Tentu saja kami berfoto di papan pendakian gunung
Bawakaraeng terlebih dahulu.
Saat baru beberapa meter
meninggalkan desa kami disambut dengan Kebun warga yang begitu indah, ada
air-air yang mengairi, segalanya begitu hijau dan sejuk. TRUTS ME bagiku yang
Senin -Jumat cuman liat layar monitor penuh dengan angka-angka dan Sabtu Minggu
hanya dihabiskan di Mall, pemandangan seperti ini merupakan harta yang sangat
berharga.
Kami berjalan sungguh ceria,
semua wajah bahagia dan penuh antusias, memasuki hutan Pinus jalan mulai agak
mendaki. Pak Agus berpesan jangan terlalu banyak bicara dan mulai atur napas
pelan-pelan. Okeyyy napasku masih baik-baik saja kok karena aku terlalu excited
dengan perjalanan ini. Masuklah kami di hutan-hutan yang medannya menanjak
sedikit demi sedikit, untung hari itu tidak ada hujan, jadi jalanan tidak ada
yang licin.
Pos I (FYI : sampai di puncak
Bawakaraeng ada 11 Pos), tibalah kami disana, jika ke kanan adalah menuju
puncak Bawakaraeng dan jika ke kiri menuju lembah Ramma, setelah puas foto foto
kami memutuskan berjalan setengah jam lagi sebelum istirahat siang untuk makan
nasi bungkus yang telah kami beli di Pasar Malino tadi.
Lunch pertamaku di dalam hutan,
dan gak nyangka saja itu bersama teman-teman dan atasan di kantor, hihihihi.
Kami makan dengan cukup lahap, pak Agus kembali berpesan isi kembali energi
karena setelah ini medan cukup Sulit, diputuskan aku dan Pocky akan selalu
berada di depan dan para Expert macam pak Agus dan Osa dibelakang kami, oh ya
tidak masalah kok kami paling depan, karena jalanan cukup jelas, ikuti saja
jalan setapak dan tali warna-warni yang diikat para pendaki sebelumnya. mulai mirip
5cm yahhh.
Setelah memastikan sampah makanan
kami telah padam dan terkubur baik dengan tanah, kami melanjutkan perjalanan. Medan
menjadi cukup sulit, menanjak dan terus menanjak. Aku dan Pocky banyak
berhenti-berhentinya untuk mengambil napas lagi dan minum hanya untuk sekedar
basahin tenggorokan, Seriously nih paru-paru udah mau putus bekerja sangat
berat, teman yang lainpun begitu, tapi tentu saja tidak terjadi dengan pak Agus
dan Osa yang wajahnya masih saja ceria. Setiap berhenti dan berpapasan dengan
Osa “ Gimana Din masih kuat?? Ayo semangat” Jreng Jreng kalo digituin lagi sama
Osa tiba-tiba semacam Seuz mengirimkan tenaga Hercules padaku untuk kembali
berjalan. Hahahaha Norak yah.
Sampailah kami di hutan Lumut,
lebih gelap daripada hutan sebelumnya, udara menjadi agak lembab disini, kami
berhenti sebentar untuk mengambil beberapa foto. Setelah hutan lumut ada anak
sungai kecil kami lewati, di daerah ini banyak pendaki yang berhenti, dan
ternyata memang seperti yang aku baca di
Novel 5 cm, tiap bertemu pendaki lain pasti kami saling menyapa dan permisi,
itu sudah jadi semacam tradisi, bahkan ada yang sedikit mengobrol “Dari kampus
mana kakak kakak?? “ begitu pertanyaan beberapa pendaki ke kami, dan selalu
saja pak Agus yang menjawab, ini cewek dua orang dari Unhas, tapi itu 4 tahun
lalu” hahahahahaha.
Pendakian kembali menjadi cukup
terjal, aku menyangka paru –paruku sudah mau pecah, dan penderitaan belum
berakhir...di depan ternyataaaaaaaaaa ada bukit penurunan and WHAT??? Itu adalah
batu-batu besar dan terjal dengan kemiringan hampir 90° (baca-baca blog orang, konon tempat
ini disebut bukit penyesalan karena
di spot ini banyak pendaki pemula sadar kenapa mereka ada disini dan memutuskan
mendaki). Aku berbicara sendiri dalam hati “ Oh God, bisakah aku turun?”
Osa duluan turun dan menunggu kami di bawah.
HUPHTT Bismillah... aku mulai
menuruni pelan-pelan batu terjal itu, ternyata memang memakai sarung tangan
cukup berguna karena aku selalu menggunakan tanganku memegang batu untuk
menjaga keseimbangan, tidak seperti Osa dan Pak Agus yang santai seperti turun
tangga, aku dan Pocky kadang duduk, seret-seret pantat, dan ngesot untuk sampai
ke bawah. Hampir 30 menit kami habiskan di bebatuan itu karena saling menunggu,
no picutre in there karena kami sudah mulai lelah dan kamera sudah pensiun
masuk ke tas.
Sampailah kami semua di bawah dan
Pak Agus kembali memberi pujian untuk aku dan Pocky yang sudah melaluinya...
tapi ternyata kenyataan di depan makin sulit, ayo semangat Dini......
Kembali memasuki hutan yang agak
gelap banyak pohon tumbang menghalangi jalan dan tentu saja menanjak dan
menanjak, bahkan di beberapa tempat aku dan Pocky harus dibantu untuk mencapai
tempat yang lebih tinggi. Dan sekali lagi aku tegaskan, napasku mungkin
hanyalah napas sisa-sisa dari tadi pagi... dan kaki dan lututku sudah mulai
kalah.
Jam 5 sore kami sampai di suatu
tempat semacam bukit Teletubbies (belakangan baru tahu kalau itu namanya puncak
Tallung saat googling sepulang dari lembah Ramma) Wah tempatnya keren sekaliiii.....
dan dari tempat itu kami bisa melihat pemandangan cukup indah dan tentu saja
melihat puncak Gunung Bawakaraeng, ada bagian putih keabu-abuan seperti
terpotong digigit naga bekas longsor beberapa tahun silam.
“WAHHHHH KERENNNYA, PAK AGUS CAPEKNYAAA
TERBAYARRRRR, MAS OSAAAA THANKSSS SUDAH AJAKKKKK” begitulah Norakku sama Pocky
teriak teriak, mengingat siksaan dari perjalanan kami tadi.
Sesi foto narsis dengan tongsis
akhirnya dimulai, dan selesai berfoto aku kembali melihat pemandangan yang cukup
indah ini, hal-hal seperti ini bikin aku makin ingat sama Tuhan. Aku melihat ke
bawah, nun jauh di sana, di bawah sana entah di mana itu, ada beberapa tenda-tenda
berdiri ditengah dataran hijau, ada sungai membelah, dan ada danau kecil di
kejauhan. Wah jauh sekali orang-orang itu mendirikan tenda ucapku dalam hati,
tapi memang cukup indah sih.
pemdangan dari puncak Tallung |
Aku menghampiri Osa, yang lain
masih sibuk berfoto. “jauh amat yah tuh orang orang itu kemping” aku menunjuk
ke arah tenda tenda yang jauh di bawah sana “Mas Osa udah mau tenggelam
matahari, kita kapan dirikan tenda nih” eh iya yah emang gitu saya ngomong sama
Osa, dia kan bukan orang Makassar, jadi kalo bicara sama dia pake logat Jakarta
gitu lho.
Osa melihatku, matanya memicing “
oh iya mari kita lanjut jalan supaya cepat dirikan tenda”
“ha? Bukan disini memangnya itu
lembah Ramma? “ aku dengan begonya bertanya
“mana ada lembah Ramma di
ketinggian begini? Namanya saja lembah” Osa hanya tersenyum.
“trus dimana?” mataku membulat
dan perasaanku mulai tidak enak
Osa tidak menjawab, hanya
menunjuk ke arah tenda-tenda kecil itu sambil tersenyum sumringah.
THIS IS NOT THE END.
Bukan hanya aku saja ternyata,
Pocky juga baru tahu kenyataan pahit ini, yah beginilah dua orang cewek sok sok
ikut mendaki padahal gak ada basic pecinta alam sama sekali dan niat hanya
seru-seruan doang. Setelah Osa dan pak Agus menyemangati kami dan memberi
pencerahan layaknya Mario Teguh, aku dan Pocky dengan lunglai mengambil tas
kami dan mulai berjalan lagi... hari sudah mau gelap dan turun ke bawah cukup
terjal kemiringannya, ini adalah salah satu medan tersulit selain bukit
penyesalan yang aku ceritakan di atas.
Osa dan Pak Agus memutuskan
duluan karena ingin cepat mendirikan tenda sebelum magrib, tenang saja kami
para cewek banyak yang menjaga, kami turun bersama mahasiwa dari Unhas dan
ternyata ramai-ramai cukup membantu, ada beberapa jalan merupakan juga bebatuan
yang dialiri air sungai dan kami harus berhati-hati karena licin.
Saat sampai di jalanan datar di
bawah, tepatnya telah sampai di Lembah Ramma, aku dan Pocky bertatapan dan kami
berdua serempak melihat ke puncak Tallung, tempat kami foto-foto tadi, untuk melihat
ke atas kami harus mendongak tajam, artinya itu cukup jauh dan tinggi. Aku tahu
apa yang kami berdua pikirkan, bukan keberhasilan kami yang hampir mustahil
untuk sampai di bawah dengan selamat, tapi bagaimana nasib kami kami nantinya
pulang mendaki jalan itu kembali.
Singkat cerita, sudah malam dan
kami sudah nyaman duduk-duduk sambil mempersiapkan masakan kami, oh iya aku dan
Pocky dipercaya untuk memasak telur dadar, sarden, mi dan nasi, dan kami
kembali terkagum –kagum sama Osa karena alat masaknya cukup lengkap,
betul-betul pendaki berpengalaman. Udara malam itu? Gak usah ditanya, kalian
yang baca ini pergi saja ke depan freezer kulkas dan bayangkan angin bertiup
kencang, yah begitulah udara di Lembah Ramma.. untung saja aku sudah siap
dengan syal, sarung tangan, kupluk, serta sleeping Bag.
Part III : Jalan Pulang yang cukup sulit
Pagi hari kami bangun, udara
masih saja dingin seperti malam harinya, aku dan Pocky membuka pintu tenda
dengan wajah kucel, kebetulan si Osa juga membuka tendanya yang berhadapan
dengan kami, dibelakang Osa itu ada background Puncak Bawakaraeng dan matahari
sedang indah-indahnya terbit dari sana. Aku dan Pocky bertatapan dan serentak
kami berucap “Wahhhh indahnya ciptaan Tuhan, sambil mata kami terkagum-kagum”
Osa melihat ke belakangnnya, ke puncak Bawakaraeng dan tak lama berbalik ke
kami “keren kan, makanya dong sering pergi kayak ginian “ ucapnya. Aku dan
Pocky masuk kembali ke tenda dan ketawa terkikik, bego banget nih Osa, dikira
kami mengagumi pemandangan, padahal mengagumi wajahnya yang makin keren aja
yang bahkan cuci muka saja belum, mimpi apa kami berdua bisa lihat doski baru
bangun dan masak bareng, di kantor saja cuman bisa berpapasan doang.
Perjalanan pulang pun dimulai,
mukaku kembali tegang membayangkan medan terjal di depan, apalagi jalan ke
Puncak Tallung dan batu-batu curam besar di depan sana yang cukup sulit aku
lalui pas turun, apa kabar pas mau didaki sebentar, rasanya pengen nangis aja,
boleh panggil Helikopter gak?
udah mau sampe puncak Tallung, perhatikan wajahku yg mulai gak enak |
Setelah bersusah payah sampailah
kami kembali di Puncak Tallung, lembah tempat kami menginap sudah jauh di
bawah, Oh God kau masih menyayangiku, padahal waktu berangkat tadi aku sudah
berpikir tidak mampu dan berniat bilang ke Pak Agus aku ingin bermalam semalam
lagi terserah siapa yang mau nemenin, kalau boleh Osa Sih.
Penderitaan belum berakhir, dari
Tallung ke tempat sungai bebatuan terjal yang aku ceritain di atas itu masih
jauh banget, dan jalan bervariasi menurun serta menanjak, dengan lututku yang
mulai cedera jalan penurunan lebih menyakitkan karena mengharuskan kakiku
melipat saat menurun, uhh rasanya sakit dan nyeri sekali, tapi kalo pak Agus
ato Osa tanya aku bilang aku masih cukup kuat agar mereka tidak khawatir,
padahal mulai sedikit pincang.
Sampailah kami di sungai besar
tempat batu-batu terjal itu berada (bukit penyesalan), disini kami memutuskan
untuk istirahat makan dan memasak sebelum melalui medan terakhir yang paling
berat, tapi dengan kondisi kakiku ini, menurutku semua medan sekarang terasa
sangat berat. Saat istirahat aku memutuskan tidak makan, hanya konsen ke
lututku. Kalian tahu bagaimana sakitnya? Sulit digambarkan, ngilu, nyeri, tapi
ini bukan semacam keseleo, cedera, ato patah, ini karena kakiku tidak pernah
bekerja seberat ini sebelumnya. Aku mulai memijit lututku dan Osa memberikan
Salep serta minyak gosok. Saat teman-temanku yang lain masih makan, aku
memutuskan akan jalan duluan saja daripada aku merepotkan dan ditunggu lama. Dengan
modal keberanian aku pamit ke teman-teman, aku bernapas sebentar dan melihat
batu-batu itu didepanku.
Aku mulai mendaki bukit
penyesalan, aku sudah pasrah kalu aku terjatuh atau mungkin pingsan atau hal
lain yang lebih parah, aku bersusah payah menyeimbangi badanku dengan ranselku,
dan dengan keajaiban aku bisa sampai di atas, aku berteriak “teman-teman aku duluan”
Setelah sejam berjalan, akhirnya
ada pak Agus dan Osa yang menyusulku, tuh kan lihat saking lambatnya jalan aku
sudah tersusul, tak lama semua temanku sudah menyusulku, aku memberikan ide
agar mereka menungguku di hutan pinus saja.
Ternyata walau medan sudah agak
datar, lututku sudah menyerah, aku semacam tidak mampu lagi berjalan, aku
rasa-rasanya ingin menangis saja dan teringat orang tuaku di Palu serta
keluarga lain di Makassar dan sekedar info semenjak meninggalkan hutan Pinus,
sinyal hp sudah tidak ada. Tiap ada rombongan lewat, aku berpura-pura diam berdiri
meneguk air agar mereka tidak melihat pincangku saat berjalan. Sampai di pos 1
aku sudah tidak kuat lagi, aku duduk di bebatuan, aku tidak memperhatikan ada
cowok baju putih duduk juga disana, dilihat dari segi apapun dia masih lebih muda
daripada aku, semacam mahasiswa semester tengah. Ia menegurku duluan.
“kenapa kak?”
“lututku kalah”
“pasti pertama ki mendaki toh”
Akhrinya setelah bercakap-cakap
dia bersedia menemaniku turun ke bawah, Hutan pinus sudah terlihat di bawah.
Kami berjalan, di beberapa penurunan ia harus memegangku karena untuk melipat
kaki saja aku sudah tidak mampu. Setelah sejam akhirnya kami sampai di hutan
Pinus, tepatnya di papan Peta rute pendakian. Aku melihat ada Pocky dan Adhy, mereka
ternyata sudah lama menungguku, cowok itu pamit, katanya teman-temannya juga
sudah dekat.
“mana yang Lain?” tanyaku pada
mereka
“sudah duluan, kan mau antri
mandi dan siap-siap supaya nda kemalaman ki sampai Makassar”
Kami bertiga turun dengan perlahan,
mereka baru sadar juga kalau kakiku sudah sangat parah, mereka tidak menyadari
waktu di atas karena aku tadi masih sok kuat.
“siapa tadi itu Din?” tanya Adhy
Astaga aku baru sadar aku bahkan
tidak bertanya namanya siapa padahal dia sudah mau susah-usah menolongku, aku
hanya tahu dia Mahasiswa UMI, hanya itu.
“nda tahu siapa, ketemuja tadi di
Pos 1, duduk ki sendiri lagi tunggu juga teman-temannya”
“Dini, ko ingatkah waktu kita
berangkat ada batu-batu Nisan kita lihat, itu pendaki-pendaki yang hilang tidak
didapat” yah tentu saja aku ingat nisan-nisan itu, saat sendirian di hutan
Lumut tadi aku sempat berpikir mungkin aku akan menjadi salah satunya.
Pocky ikut menyeletuk “ sendiri
tadi ko lihat itu cowok? “ hhmm aku mengingat, aku duduk di batu bawah pohon dan
dia duduk diseberangku.
Pocky dan Adhy berpikiran
tidak-tidak, aku kembali mengingat saat di perjalanan tadi aku bercerita normal
saja dengan cowok itu, Ia bahkan bertanya kami kelompok apa, aku jelaskan saja
kami dari Bank Mandiri kebetulan punya hobby yang sama, beberapa pendaki
melewati kami minta permisi lewat karena aku begitu lambat berjalan, hhmm
rasa-rasanya normal saja kok, ah ada-ada saja Pocky dan Adhy ini, whatever,
pokoknya aku cukup berterimakasih pada cowok itu karena membantuku bahkan
memapahku di beberapa tempat, tapi namanya saja aku tak tahu, dan omong-omong
berpisah di hutan pinus tadi dia kemana.
Singkat lagi, akhirnya kami
sampai di rumah warga yang kami tumpangi saat berangkat. Osa, Pak Agus dan
teman-teman lain telah selesai mandi dan sudah bersiap-siap, saat aku datang
aku disuruh duduk dulu, Osa memeriksa kakiku sebentar. Aku rasa-rasanya ingin
memeluk mereka satu per satu karena entah dengan keajaiban apa bisa juga aku
sampai disini.
Aku memilih segera mandi dan
membersihkan diri dan hhmm mungkin sedikit menyiksa diri karena airnya seperti
es batu yang baru saja mencair, saat semua telah berkemas aku duduk minum teh
hangat, Pak Agus menanyakan kondisiku, aku bilang aku baik-baik saja tapi
sebenarnya aku sudah mau menangis, menangis terharu dengan perjuanganku untuk
tetap hidup dan sampai dengan selamat.
Selepas magrib, kami bertolak ke
Makassar, semua di mobil sudah terlelap termasuk aku, walau masih dengan nyut
nyut dilututku. Aku menutup mata dan berpikir Terima kasih Tuhan kau baik
sekali padaku, dua hari ini aku merasa mendapat keajaiban sungguh berharga.
Pemandangan indah yang membuat kami semua lebih dekat padaMu, perjuangan,
persahabatan dan pengalaman seru lainnya serta membuatku lebih menghargai hidup.
4 tahun kuliah dan selalu berniat kemping dan mendaki tak pernah terwujud, eh
ini sudah kerja jadi orang kantoran, baru sebulan mutasi ke Makassar akhirnya
terwujud juga sama orang-orang yang gak disangka lagi. Iya orang orang yang aku
gak sangka.. aku tersenyum sambil melihat Pak Agus yang terlelap di depan,
Pocky sibuk dengan hp nya di sebelah kananku, dan tentu saja Osa yang terkantuk
kantuk yang selalu tidak sengaja menyentuh pundaku. Aku kembali tersenyum Kecil.
Salam kami dari Lembah Ramma |
Epilog
Senin dan Selasa aku tidak masuk
kantor, karena total gak bisa jalan sama sekali, dua hari aku dipanggilkan
tukang urut, seminggu setelahnya pun jalanku masih belum agak normal, tapi
semua kekacauan itu terbayar karena foto-foto di puncak, lagi kemping, dan
tentu saja keakraban dengan Osa bikin Heboh sekantor di Palu dan Makassar, yahh
apalagi kalo bukan karena si Osa kece sang idola itu bisa akrab bahkan sampai
kemping dengan kami-kami. Hahahah haters, jeleouser, go to The Hell :p