Kenapa harus Sheva
– Kaka dan Ibra – Thiago Silva? Yahhh karena menurutku kepergian mereka
berempat adalah yang sangat menyakitkan bagi para Milanisti dan juga
pemain-pemain Milan yang masih membela klub merah –hitam itu sampai musim
mendatang. Apa yang saya ingin bandingkan
dalam tulisan ini? Check This Out Guys.
Pertama, saya
jelaskan dulu, pasti banyak yang protes yah, “helllooo paling menyakitkan? Lo
gak ingat gimana sedihnya waktu Maldini, Nesta, Inzaghi, Gatusso dan Seddorf
pergi?” sabar ya jangan protes dulu, saya bilang kepergian mereka berempat
serasa lebih nyesek karena.... let start from Sheva. Pemain bernomor punggung 7
ini pergi atas keinginannya sendiri karena ia dan keluarga berniat pindah dan
menetap di London, ditambah lagi hubungan baiknya dengan juragan kaya dari
Rusia, Abrahamovich. Jadilah cowok muka imut ini pergi dari Sansiro dan
berlabuh di Stanford Bridge, London. Sayang seribu sayang, di Chelsea ia kurang
bersinar. Entah kemana naluri
mencetak golnya itu, hal yang sama terjadi dengan Kaka, yang mungkin pemain
yang paling dicintai oleh cewek-cewek Milanisti seaontero jagat dan disayangi
cowok-cowok yang menyebut dirinya curva Sud. Kepindahan Kaka ini lebih nyesek
lagi, ia sama sekali tidak ingin pergi, hanya saja krisis keuangan yang dialami
Milan hanya bisa diatasi dengan kepindahan Kaka ke Madrid dengan nilai yang
sangat tinggi, dan as I said, Kaka
lebih sering menghiasi bangku cadangan di Madrid.
Bagaimana dengan
Thiago Silva dan Ibra? Mereka pergi dengan alasan yang sama, dengan menjual
mereka dengan harga cukup tinggi, Milan mampu mengatasi masalah keuangan,
apalagi harga fantastis Thiago Silva mengingat dia seorang Bek, bukan penyerang
maupun playamaker. Cinta Thiago Silva tak bisa diragukan lagi ke Milan, ia
bahkan meng-upload fotonya mencium badge Milan di akun instagram dan
mengatakan kalau dirinya akan selalu menjadi pemain Milan, itu sebuah tanda ia
bersungguh-sungguh.
Dan kembali ke inti
poin pertama, yah kepindahan mereka berempat paling menyakitkan karena mereka
berempat pergi di saat yang benar-benar membuat sedih para milanisti. Kepergian
Sheva dan Kaka sepaket dengan Kepergian Ancelotti, sedangkan Thiago Silva dan
Ibra pergi di saat para Milanisti baru saja kehilangan punggawa hebatnya
(Inzaghi, Gatusso, Seedorf, Nesta). Ditambah lagi Thiago Silva dan Ibra ke PSG
yang mungkin saja akan bertemu Milan di suatu kompetisi (beda dengan Nesta yang
nun jauh di amrik dan Gatusso di Sion), nyeseknya dobel, semacam dapat dua
paket Big Mac di Mcd gratis tapi lagi kenyang banget.
Kedua, dibanding
Kaka dan Sheva ada hal paling saya tidak terima dari kepergian Thiago Silva dan
Ibra. Apa itu? Mari kita flashback sebentar ke Kaka dan Sheva sebagai
perbandingan. Masih ingat berjayanya Sheva di Milan? Ia membuat lebih dari 100
gol di serie A, bersama Milan ia meraih gelar liga champion (walaupun tendangan
penaltinya di Istanbul gak bisa dilupa), Sheva mendapatkan Balon D’or bersama Milan,
itu sebuah puncak dari kariernya sebagai pemain sepakbola, begitu pula dengan
Kaka, datang sebagai anak muda biasa dan bertransformasi menjadi idola di dalam
maupun di luar lapangan. Tak beda juah dengan Sheva, Kaka mendapatkan
penghargaan sebagai pemain serie A terbaik sekaligus pemain asing terbaik, dan
tak dapat disangkal tahun 2007 adalah tahun-nya Kaka, ia menjadi pemain terbaik
UCL sekaligus menjadi top skor, sekaligus membawa Milan mendapatkan UCL
ketujuhnya, dan sekaligus mendapatkan Balon D’or nya. Kaka hanya butuh gelar
Piala Dunia bersama Brazil untuk menyempurnakannya.
Thiago Silva dan
Ibra? Mereka memberi satu Scudetto. Itu saja. Beberapa penghargaan individu
juga mereka dapatkan tapi tidak dengan Balon D’Or, bahkan kutukan Ibra untuk
gelar itu masih berlanjut sampai sekarang. Satu Scudetto untuk pemain sekelas
mereka? Dibawah 5 tahun ada di Milan dengan pemain setia seperti Thiago Silva.
Hiks rasa-rasanya mereka berdua bagai film yang tak mencapai klimaks dan ending di San
Siro.
Ketiga dan terakhir
(siapa tahu sudah bosan baca), sebenarnya sih kalau mau mengukur kadar rasa
cinta Milanisti kepada empat pemain itu, Kaka dan Sheva mungkin ada di urutan
teratas, kalau Ibra sih semenjak dia datang para Milanisti sudah tahu jangan
terlalu menaruh harapan panjang pada pemain satu ini (tapi yg aneh pada
kenyataanya dia yang dipaksa keluar dari Milan, nomor punggung 10 hanya PHP :p).
Tapi kenapa Ibra dan Silva jadi heboh yah? Ini tanggung jawab dari sesuatu yang
bernama “Twitter”. Kalau saja zaman Kaka
pergi twitter sudah heboh begini, mungkin di timeline kicauannya banjir air mata sampai hp ku mungkin nangis
tersedu-sedu. Tapi ya itu di tahun 2007 kemarin kitanya sedih sendiri saja di
kamar sambil memandang poster Kaka berbaju Milan dan berbaring membasahi bantal
Milan (ini saya deh kayaknya) gak saling berbagi curhat, protes, sedih, opini dan galau di twitter.
Kepindahan Ibra dan Silva jadi lebih booming karena bahkan Ibra tiba di Paris
saja udah ada yang twit, Ibra pegang pulpen mau ttd kontrak mungkin ada yang
twit dan foto. Its called a power of
twitter.
Yah gitu deh guys
saya coba membandingkan dua mega transfer Milan tersebut (sayangnya kalo mega
transfer Milan, bukan pemain datang, tapi pergi), semoga asyik bacanya yah.
0 komentar:
Posting Komentar